Suatu ketika, seorang siswa yang akan segera menamatkan jenjang pedidikan studi sekolah menengah atas atau yang lebih popular dengan sebutan SMA atau yang sederajat dengannya seperti SMK dan sebagainya, ditanya, ? apakah kamu mau kuliah selepas tamat pendidikan ini,? Siswa tersebut menjawab, “saya tidak mau kuliah”, kemudian ditanyakan lagi, kenapa tidak mau kuliah,? Siswa tersebut menjawab, “banyak para sarjana-sarjana yang telah mendapat kan gelar akan tetapi jadi penggangguran juga”, begitu lah opini yang tersimpan di dalam fikiran sang siswa tersebut.
Pernyataan diatas merupakan salah satu hasil dari quesioner-quesioner yang penulis layangkan kepada beberapa orang responden untuk sebagai bahan pertimbangan dasar pemikiran, mengingat minat pendidikan di negeri ini yang dapat dikatakan belum maksimal dan belum juga mencapai target yang diharapakan untuk menopang isi dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
“Analisa-analisa suram tentang gelar kesarjanaan”, memang begitu mendominasi pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia, gelar keserjanaan selalu saja diiringi opini tentang pekerjaan dan pengangguran akan tetapi hal tersebut memang tidaklah dapat dipungkiri bahwa begitu banyak para sarjana dinegri ini yang menganggur dan belum segera juga mendapat pekerjaan. Generasi millennials untuk lebih mudahnya dapat dipahami dengan generasi kekinian yang telah mampu memainkan teknologi dengan baik dan mengenal berbagai macam dunia maya dan komunikasi yang begitu canggih, sehingga kemampuan inilah yang membedakan genarasi ini dengan generasi sebelum meraka.
Mengiring opini tentang mensandingkan gelar kesarjanaan dengan pengangguran memang bukanlah sesuatu yang etis dan bukan pula termasuk perbandingan yang seimbang dan adil hal ini dikarenakan secara hakikatnya posisi kesarjanaan sama sekali tidak ada hubungan dengan tingkat pengangguran dikarenakan gelar kesarjanaan merupakan gelar keilmuan yang dimiliki seseorang dan ilmu yang dimilikinya, sedangkan pengangguran merupakan gelar sosial yang secara tidak langsung melekat kepada orang yang telah masuk usia kerja akan tetapi belum mendapat pekerjaan (dan gelar pengangguran ini bisa saja melekat kepada orang yang bergelar sarjana atau yang tidak bergelar sama sekali). Dan tentu saja dengan berkembangnya opini ini akan melehkan semangat belajar para generasi bangsa setelahnya yang berdampak pada ketertinggalan dari segi berbagai disiplin keilmuan dengan negara-negara lain.
Sebenarnya apa akar permasalahannya sehingga sebagian masyarakat mensandingkan kesarjanaan dengan tingkat pengangguran yang ada di negeri ini, diantaranya adalah:
Banyaknya para sarjana yang tidak menguasai bidang keilmuannya, poin pertama ini merupakan titik temu kejenuhan masyarakat dan merupakan titik yang menampakkan kemalasan sang mahasiswa ketika duduk dibangku perkuliahan. Tidak tanggung-tanggung sekitar ratusan ribu wisudawan/I yang diwisuda setiap tahun dengan berbagai gelarnya masing-masing sebagian dari mereka ketika ditanya apa keahlian, mereka bingung dan linglung. Saat ini dunia sedang membutuhkan seorang yang pakar dalam bidangnya, seorang yang ahli dalam pengalamannya sehingga kecocokan antara keahlian dan keilmuan berjalan dengan baik seragam dan dengan tidak adanya hal ini maka tentu saja para sarjana tersebut bingung mau bekerja apa, karna yang dikerjakan lain dan gelar pun lain.
Sulitnnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan gelar keilmuannya, poin kedua ini merupakan para sarjana yang memang ahli dibidangnya yang tekun belajar dalam pendidikannya, hanya saja lowongan untuk penerimaan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya belum ada dan belum dibuka. Hal ini juga dapat memicu pengangguran yang bukan saja menimpa para sarjana yang malas dan perkuliahannya dahulu akan tetapi juga menimpa para sarjana yang begitu rajin dan tekun dalam masa perkuliahannya dahulu.
Frekuensi pencari kerja lebih banyak dari jenis pekerjaan, point ketiga ini berlaku umum, baik mereka yang bergelar sarjana atau pun tidak. Para pencari kerja selalu memiliki saingan yang begitu banyak untuk satu jenis pekerjaan, dapat dikatakan bahwa satu jenis pekerjaan dapat memiliki potensi perbandingan 1: 50, artinya persaingan yang begitu hebat dalam mencari dan mendapatkan pekerjaan tidaklah mudah dan menyenangkan, belum lagi adanya orang-orang yang nepotisme mereka yang selalu mengedepankan kerabat dekat dan hak pemilikan pekerjaan, apakah itu anaknya, keponakannya, sesukunya atau bahkan teman dekatnya, sehingga pertimbangan keilmuan dan keahlian dikalahkan oleh hubungan kedekatan emosional.
Menghadapi kenyataan diatas sudah saatnya para mahasiswa yang diberikan rezeki dan kesempatan kuliah untuk memamfaatkan hal tersebut dengan baik, dan disisi lain, besar harapan agar masyarakat umum tidak lagi menyandingkan tingkat pengangguran dengan jumlah para sarjana yang ada, karena hal tersebut akan melelahkan semangat belajar generasi muda bangsa ini, adapun yang menjadi pemain sentral disini adalah para penguasa, pemerintah harus mengupayan pendidikan yang maksimal untuk para akademisi memberikan sarana-sarana yang menunjang keilmuan mereka serta menyediak untuk mereka tempat-tempat praketk dan selanjutnya lowongan pekerjaan yang baik untuk para generasi bangsa, sehingga perkembangan pendidikan akan bergaris lurus dengan perkembangan masyarakat yang berperadaban. “Karena sejatinya pengangguran-pengangguran yang ada akan memicu tindakan kriminalitas di dalam masyarakat, dan kriminalitas yang paling celaka adalah kriminalitas yang dilakukan oleh kalangan cendikiawan, ilmuan yang berpendidikan”.
Jika kita merujuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan fundamental norm (norma tertinggi) negara yang menerangkan terkait dengan tujuan negara, salah satu pasal yang mengalami perubahan di tahun 2002 adalah Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 tahun 1945. Di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, kedua pasal itu berada dalam satu bab, yaitu Bab XIV dengan judul “Kesejahteraan Sosial”. Pasal 33 terdiri dari tiga ayat, dan Pasal 34 terdiri dari satu ayat. Dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002, judul Bab XIV menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Pasal 33 menjadi lima ayat, sedangkan Pasal 34 menjadi empat ayat. Peran perekonomian memang sangat besar di dalam kehidupan setiap bangsa. Pilihan sistem ekonomi, menjadi tulang punggung mewujudkan kesejahteraan. Bahkan, sistem ekonomilah yang menjadi landasan kebijakan kesejahteraan sosial. Hal ini terlepas, bahwa kesejahteraan rakyat masih tetap merupakan tujuan utama setiap bangsa, apakah itu kapitalisme, sosialisme, bahkan komunisme. Untuk Indonesia, hal itu tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4, yang dikatakan tujuan negara ini adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Rilis : JUFRI HARDIANTO ZULFAN, S.H., M.H
Editor : NSKNEWS.com